Selasa, 22 Oktober 2013

Peran Gereja Mewujudkan Kesadaran Politik Rakyat


PERBINCANGAN atau diskusi tentang peran geraja dalam mewujudkan kesadaran politik masyarakat, khususnya jemaat geraja, sudah sering dilakukan, dengan harapan bahwa gereja dapat berperan secara langsung mendorong terwujudnya perpolitikan yang bersih dan tumbuhnya kesadaran berpolitik yang baik. Akan tetapi, jika kita telisik ke belakang, muncul pertanyaan sudah seperti apa hasil diskusi-diskusi tersebut? Kita mungkin dapat melihat kenyataannya dan menjawabnya sendiri. Menurut hemat saya, sampai sekarang hasilnya masih minim dan gereja masih banyak yang tabu berbicara tentang politik padahal secara tidak langsung atau tidak disengaja, gereja sering terilbat dalam politik praktis.



Sejak 1998 sampai sekarang, 15 tahun sesudah reformasi, perkembangan demokrasi di Indonesia belum juga menunjukkan hasil yang signifikan. Kita bisa melihat bahwa setelah 1998, demokrasi di Indonesia masih sebatas demokrasi prosedural, yang ditandai dengan adanya alat kelengkapan penyelenggara Pemilihan Umum (PEMILU), seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan lain sebagainya yang terkait dengan penyelenggaraan Pemilu. Tetapi jika kita berbicara mengenai kesadaran berpolitik atau berdemokrasi secara substansi, saya pikir belum.


Kesadaran berbagai elemen (masyarakat, partai, gereja, dan pejabat pemerintah) dalam berdemokrasi belum berjalan dengan seutuhnya. Masih banyak konflik-konflik akibat tidak puas dengan penyelenggaraan Pemilu, baik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Pemilihan Legislatif maupun pemilihan presiden. Baik konflik yang berbau Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA), maupun karena perbedaan pemahaman tentang politik dan kekuasaan. Akibat konflik-konflik tersebut, telah menimbulkan banyak kerugian, baik materil, sampai gangguan keamanan yang minimbulkan rasa trauma di tengah masyarakat. Pada akhirny berujung pada rasa antipati oleh masyarakat terhadap Politik.


Melihat kondisi di atas, banyak orang Kristen dan gereja secara khusus beranggapan bahwa politik itu kotor dan hal yang sangat duniawi, maka harus dijauhi. Core business gereja adalah membina kerohanian umat, bukan mengurusi “barang” dunia fana itu. Tetapi sekarang terjadi perubahan yang cukup mencengangkan. Tidak sedikit orang Kristen, pendeta bahkan gereja yang tiba-tiba gandrung pada politik. Bahkan juga mencalonkan diri baik sebagai anggota legislatif maupun eksekutif, di tingkat lokal maupun nasional, sekalipun belum tentu memiliki pengalaman, pengetahuan dan kemampuan politik yang memadai.


Rendahnya Partisipasi Politik
Rapuhnya demokrasi dan pemahaman masyarakat terhadap politik berdampak besar pada representasi masyarakat dalam mengkikuti Pemilu/Pemilukada. Hal ini terjadi di hampir semua daerah di Indonesia. Rata-rata pemilih dari yang sudah terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DTP), yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai 37%-45%. Hal ini merupakan gambaran nyata dari masih banyaknya masyarakat yang antipati dengan politik dikarenakan belum berjalannya demokrasi sustansial di Republik ini.


Sebagai contoh rendahnya partisipasi politik masyarakat dapat kita lihat pada pelaksanaan pemilihan langsung Kepala daerah Kabupaten sarmi yang dilaksanakan pada 2011 lalu. Representasi pemilih sangat rendah sekali. Dalam Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat kabupaten Tahun 2011, di Aula Diklat Petam, telah menetapkan pasangan nomor 4, menjadi pemenangnya. Mereka meraih total suara hanya 4.879 atau 25 persen dari suara sah. Jika berdasarkan jumlah Pemilih yang terdaftar di DPT, pasangan tersebut hanya mendapatkan suara 21,39 persen rakyat Kabupaten Sarmi. Angka tersebut didapat setelah total suara yang mereka dapatkan dibagi dengan jumlah Pemilih di DPT sebesar 22.810.
Melihat contoh di atas, di manakah peran serta gereja dalam mewujudkan demokrasi yang baik tersebut. Padahal dalam Pilkada langsung Kabupaten Sarmi banyak orang-orang gereja (jemaat, pendeta, penatua gereja) yang berperan secara langsung maupun tidak langsung dalam mendukung salah satu calon kepala daerah yang maju dalam pertarungan tersebut. Mungkin secara institusi, dukungan tidak diperlihatkan secara langsung, tetapi individu-individu yang ada dalam gereja berupaya untuk mencari dukungan dari berbagai pihak yang ada di lingkungan gereja. Ketika calom gubernur yang didukung kalah, tidak sedikit orang gereja yang merasa kesal dan mulai mencari kambing hitam siapa yang patut dipersalahkan. Tetapi kembali kita pertanyakan seperti apa peran gereja?
  1. Politik Transaksional: Kita sedang berhadapan dengan fenomena perburuan harta dan kuasa. Ongkos politik yang begitu mahal menjadikan semuanya serba transaksional. Apalagi ternyata sedang terjadi juga perubahan dari Nation State (konstitusi dan nilai-nilai) ke Market State, di mana yang berperan pada akhirnya adalah tokoh-tokoh (tentu yang memiliki harta) dan kekuatan pasar. Maka fungsi negara untuk mensejahterakan rakyat pun dengan mudah tergerus oleh kepentingan-kepentingan sesaat. Kekuatan pasar pun memaksa negara untuk masuk dalam proses privatisasi.
  2. Politik Identitas: Sejak diberlakukannya Otonomi Daerah, kita menyaksikan makin menguatnya politik identitas. Diawali dengan jargon “putra daerah”, politik identitas ini merambah ke mana-mana, hingga ke agama. Tetapi penguatan politik identitas (agama) ini, kini tidak lagi hanya dalam konteks otonomi daerah, karena sudah menjadi warna perpolitikan kita, dewasa ini, juga di level nasional. Merit system sudah menjadi barang mewah. Terkait dengan politik identitas (agama) ini, tidak bisa dilepaskan dari perasaan kecewa dari sebagian umat Islam yang merasa diri mayoritas tapi selalu terpinggirkan dalam perpolitikan nasional. Maka dengan momentum multi krisis Indonesia yang tak berkesudahan. Sistem perekonomian telah gagal membawa kesejahteraan dan system politik telah merusak moralitas bangsa. Hukum di Indonesia yang adalah warisan kolonial, kata mereka, terbukti telah gagal dan oleh karenanya, Sistem Islam yang selama ini belum pernah dicoba, merupakan alternatif. Maka penguatan identitas ini pun berkelindan dengan politisasi agama; yang hasilnya telah kita saksikan dalam berbagai keputusan-keputusan politik di Senayan.
  3. Demokrasi Niretika: Realitas perpolitikan kita juga diwarnai dengan perilaku elit politik kita yang niretika. Atas nama demokrasi (suara terbanyak) maka seolah sah untuk menegasikan hak dan keberadaan orang lain. Pragmatisme politik begitu kuat mendominasi perilaku para elit politik kita. Para politisi (dan sebagian besar masyarakat kita) dan memaknai demokrasi hanya berurusan dengan persoalan-persoalan sistemik-struktural kenegaraan dan prosedural-mekanisme untuk memilih para pemimpin. Sejauh menyangkut sejumlah nilai yang seharusnya diperjuangkan (seperti kebebasan, kesetaraan, keberagaman, kesamaan dalam kesempatan, keadilan, dll) di tengah kehidupan berbangsa sepertinya tidak dilihat sebagai roh dan jiwa demokrasi. Maka, ganti menjadikan politik sebagi panggilan, perilaku politisi kita lebih merupakan politik ala Machiavelli, yang menghalalkan segala cara demi kepentingan (kelompok dan sesaat).
  4. Oligarki Partai: Di tengah kondisi seperti inilah kita sekarang sedang menyongsong Pemilu 2014. Konstitusi kita menyebutkan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat. Karena itu rakyatlah yang menentukan secara demokratis dan bebas siapa yang akan memimpin negara ini. Dan ini dilakukan melalui Pemilu dan Pilpres. Di satu sisi, melalui Pemilu dan Pilpres kita sedang menilai kontrak yang (pernah) kita berikan kepada wakil-wakil kita di masa lalu, dan di sisi lain kita juga akan menentukan orang-orang yang kita percayai untuk memimpin negeri ini ke masa depan.

Sistem perwakilan yang menjadi logika dasar Pemilu, acapkali mereduksi kedaulatan rakyat, karena pada gilirannya sistem perwakilan itu akan menghasilkan suatu lapisan elite politik. Berbagai bentuk lobby dan negosiasi di tingkat elitlah yang acap dirumuskan dan ditetapkan sebagai kepentingan bersama, walau tak jarang, yang terjadi sebetulnya adalah kepentingan kelompok elit tersebut dan mengabaikan sama sekali kepentingan rakyat banyak. Contoh yang paling nyata ditunjukkan oleh perilaku elit politik kita beberapa tahun terakhir ini, dengan menggunakan fasilitas dan uang negara--yang adalah milik rakyat-- melarutkan diri hanya dalam perjuangan kelompok atau partainya, tetapi sangat kurang dalam merumuskan kebijakan yang membawa kesejahteraan bagi rakyat banyak.
Keempat kondisi di atas semakin memperburuk citra perpolitikan di Indonesia dan menjadikan politik sebagai komoditas kekuasaan oleh kelompok-kelompok tertentu. Akhirnya apa yang diharapkan dari cita-cita awal reformasi untuk menciptakan demokrasi yang baik secara prosedural dan substansial semakin sulit dilakukan. Hampir tidak ada cela untuk dapat melakukan perbaikan karena setiap kelompok stakeholder yang ada sudah terjerumus dalam jaring laba-laga dan cengkraman gurita yang hanya haus kekuasaan. Rakyat akan tetap menjadi objek dari politik yang siap untuk dikurbankan hanya untuk setitik kuasa yang memberikan kekuatan serta kepuasan kuasa itu sendiri.

Memperkuat Representasi Politik Melalui Gereja
Gereja sebagai salah satu institusi yang memiliki banyak anggota (jemaat), sudah saatnya melakukan perubahan pandangan terhadap politik itu sendiri. Gereja sangat potensial untuk menjadi wadah untuk melakukan perubahan untuk terwujudnya politik yang bersih dan adanya kesadaran politik oleh warganya (jemaat). Hal ini jelas dipaparkan oleh Prof. B.A. Simajuntak dalam makalah yang disampaikannya, yaitu secara fundamental terdapat pada pengakuan iman orang Kristen bagian ketiga: 1.Percaya Kepada Roh’ul Kudus; 2.Percaya Kepada Gereja Yang Kudus; Dan 3. Persekutuan Orang-Orang Kudus. Oleh karena itu gereja adalah persekutuan warga yang percaya kepada allah Bapa, percaya pada Putranya yesus Kristus dan percaya kepada Roh’ul Kudus. Hal di atas  memperlihatkan betapa kuatnya sebenarnya gereja untuk dapat melakukan perubahan karena memiliki pondasi yang sudah sangat jelas dan menjadi bagian dari iman orang Kristen itu sendiri. Akan tetapi, perubahan itu tidak akan dapat dilakukan dengan sendirinya jika tidak ada hal yang dilakukan dan hanya sekedar berharap saja.

Dalam penjelasan jaringan hubungan pegaruh interseksi gereja dengan politik dan kekuasaan, Prof. B.A. Simanjuntak menjelaskan Gereja sebagai sebuah institusi memiliki dogma/ajaran sebagai landasan berpijak dan terbangunnya keimanan dari jemaatnya. Pendeta sebagai pimpinan umat yang memberikan arahan dan contoh yang baik dalam implementasi ajaran/dogma gereja; jemaat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari gereja dan sekaligus merupakan anggota yang kemudian memiliki aktifitas bersama dengan Pendeta di dalam gereja. Sebagai institusi, gereja juga memiliki asset (gedung, dana, dll) sebagai modal yang dapat dijadikan untuk wadah pengembangan dari gereja itu sendiri termasuk jemaatnya. Sedangkan politik itu sendiri memiliki Partai sebagai bukti berjalannya demokrasi dan partai sebagai perwakilan rakyat; partai memiliki ideologi masing-masing dengan satu tujuan adalah kekuasaan; partai tidak terlepas dari anggota dan atau simpatisan; partai juga tidak terlepas dari asset/dana sabagai modal untuk menjalankan roda organisasi untuk merebut kekuasaan. Gereja dengan Partai hampir tidak memiliki perbedaan, masing-masing institusi memiliki elemen yang sama walau beda bentuknya, misalnya ajaran dalam agama bisa dikatakan merupakan ideologi di partai.

Dalam memperkuat representasi politik yang baik dan bersih (merupakan gambaran adanya kesadaran politik yang substansial) oleh gereja tergantung kepada gereja sebagai institusi. Jika gereja dengan jemaatnya yang juga merupakan anggota partai dapat mempengaruhi ideologi partai seperti apa yang diimani dalam agamanya, maka bukan tidak mungkin orang-orang dalam partai akan memiliki karakter yang membangun politik dengan baik dan tidak hanya memikirkan kekuasaan semata. Pendeta, penetua gereja dan berbagai pihak lainnya yang terkait dalam gereja mau dan mampu memberikan masukan atau pengaruh yang baik sesuai dengan dogma/ajaran gereja, maka jemaat yang menjadi anggota partai akan melakukan apa yang diajarkan dalam gereja di partainya. Termasuk dalam penggunaan asset atau dana yang ada, gereja sebagai lembaga keagamaan harus memberikan contoh yang baik dan benar sehingga akan menjadi dasar pengetahuan dan perlakuan jemaatnya termasuk di partai Politik.

Tetapi jika sebaliknya terjadi, partai dengan ideologinya yang lebih kuat dan anggotanya juga merupakan anggota jemaat gereja maka akan terlihat perbedaan satu sama lainnya. Kepentingan akan bermain di gereja dan jika pendeta sebagai pimpinan umat tidak melihat hal ini sebagai salah satu masalah bahkan terseret pada pihak-pihak tertentu maka akan menimbulkan perpecahan di gereja atau perebutan kekuasaan. Tidak jauh berbeda dengan partai-partai yang lebih mementingkan kekuasaan. Mengenai pengaruh baik dan pengaruh buruk hal tersebut tergantung siapa mempengaruhi siapa.

Dalam kerangka inilah gereja perlu mendorong warganya untuk berpartisipasi aktif dalam penyelenggaran Pemilu, karena dalam perspektif mengupayakan pemimpin yang berorientasi kepada kepentingan orang banyak, maka Pemilu bukan hanya merupakan hak, tetapi juga kewajiban warga gereja. Menurut Pdt.Gomar Gultom, STh ada beberapa langkah   yang dapat dilakukan oleh gereja untuk mendorong adanya kesadaran terhadap politik terutama menjelang Pemilu 2014, yaitu:
  1. Mendorong (dan memberitahukan bagaimana caranya) warga jemaat untuk proaktif mendaftarkan diri sebagai pemilih. Ikut serta memeriksa daftar pemilih sementara dan selanjutnya mengkoreksi hal-hal yang tidak sepatutnya.
  2. Memfasilitasi diskusi di gereja atau di tengah-tengah masyarakat dengan tujuan memampukan dan mencerdaskan warga dalam menentukan pilihan. Hal ini dapat juga dilakukan dengan mengundang seluruh calon-calon kepala daerah yang akan ikut dalam pemilukada. Sangat baik jika gereja menyediakan informasi tentang rekam jejak masing-masing calon.
  3. Mendorong warga untuk menentukan pilihan berdasarkan kriteria untuk menilai para calon yang berkualitas, antara lain:
  • Cakap, dalam arti memiliki kemampun pengelolaan SDM dan keuangan, bertanggung-jawab, mampu melakukan terobosan.
  • Takut akan Tuhan dengan mengedepankan penegakan hukum, menghormati kemajemukan, melindungi kebebasan beragama dan mengutamakan kepentingan umum. 
  • Benci akan pengejaran suap, dalam arti transparansi dan akuntabilitas dalam bidang keuangan, bebas dari indikasi korupsi dan pelanggaran hukum   

4. Mendorong dan mempersiapkan warga gereja untuk ikut berpartisipasi sebagai politisi yang dapat mengabdikan dirinya, baik di legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Khususnya dalam Pemilu 2014, sudah saatnya para pimpinan gereja mempersiapkan dan memperhatikan calon-calon dari lingkungan gereja yang memiliki:
  • Keteladanan: mengedepankan politik garam dan terang dunia (Matius 5:13-16). Menjadi garam dan terang berarti bermakna bagi masyarakat di sekitar dalam semua aspek kehidupan, tanpa harus menaikkan panji-panjinya, tetapi berani tampil transparan dan akuntabel. 
  •  Kemampuan dalam proses legislasi: Keterlibatan dalam proses legislasi di tingkat nasional (DPR) maupun lokal (DPRD) dalam penyusunan kebijaka publik dengan kemampuan menyerap aspirasi masyarakat tetapi tetap dengan spirit konstitusi yang melindungi kepentingan semua lapisan masyarakat. 
  •  Suara kenabian: kemampuan menyampaikan suara kenabiannya terhadap penyelenggara negara dan setiap pemegang kekuasaan tanpa terkooptasi oleh kekuatan uang, kekuatan politik, kekuatan ideologi atau kekuatan bentuk apapun.

Sebaliknya, gereja hendaknya tidak melakukan hal-hal berikut: mendukung calon atau partai politik tertentu, memberikan sumbangan kepada calon atau partai politik tertentu, mengijinkan pembagian atau pemasangan bahan kampanye di lingkungan gereja dan menggunakan fasilitas gereja dengan cara yang mengesankan dukungan kepada calon atau partai politik tertentu.***

Referensi : http://www.ksppm.org/perangereja